Menjadi Pembawa Kabar

1 Samuel 3:11-21

Di dunia ini paling tidak ada dua kabar yang biasa disampaikan, yaitu kabar baik dan kabar buruk. Semua orang pasti suka dengan kabar baik, sehingga selalu ingin mendengar terus kabar tersebut. Orang selalu siap untuk mendengar atau menyampaikan kabar baik tersebut. Kita juga seringkali menunggu kabar baik dari siapa saja, terutama dari orang-orang yang kita kenal dekat. Orang yang menyampaikan kabar baik juga bersukacita ketika akan menyampaikan kabar tersebut, tidak ada beban sama sekali. Bahkan seringkali tidak sabar untuk segera menyampaikan kabar tersebut.

Malaikat bersukacita ketika menyampaikan kabar baik kepada Yusuf, Maria dan para gembala domba di padang. Yusuf dan Maria menerima kabar baik tersebut, meskipun di awal mereka hampir menganggap bahwa kabar yang disampaikan oleh malaikat Gabriel itu adalah kabar yang tidak baik. Orang-orang Majus bersukacita ketika mereka melihat bintang khusus yang muncul di langit, karena mereka tahu bahwa itu adalah pertanda yang sangat baik.

Tetapi, bagaimana jika yang harus kita sampaikan adalah kabar buruk, kabar mengenai kemalangan atau dukacita? Jika kita bisa memilih, maka kita tidak akan mau untuk menyampaikan kabar buruk kepada orang lain. Menyampaikan kabar buruk bisa menjadi beban tersendiri bagi penyampai kabar tersebut. Akan banyak pikiran yang muncul dalam benak kita, ketika kita harus menyampaikan kabar buruk kepada orang lain, terutama kepada orang yang telah berjasa di dalam hidup kita, orang yang telah mengasihi kita. Tetapi, mau tidak mau, pasti ada saat kita harus menyampaikan kabar buruk kepada orang lain, entah kabar mengenai kecelakaan, kegagalan, kehilangan atau kematian.

Bagi kita yang pernah di dalam posisi ini, kita pasti menyadari dan merasakan bahwa ada perasaan tidak tega, tidak enak, seolah mulut kita tidak bisa bersuara, tidak mampu untuk berkata apa-apa. Kita sendiri khawatir dengan kabar tersebut, juga takut terhadap orang yang akan mendengarkannya. Kita tidak bisa membayangkan tanggapan atau respon dari orang yang akan mendengar kabar buruk tersebut. Bisa saja orang tersebut tidak percaya kepada kita, bahkan membenci kita.

Hari ini kita belajar dari Samuel, ketika harus menyampaikan kabar buruk dari Tuhan, yang ditujukan untuk imam Eli dan keluarganya. Samuel pada waktu itu masih kecil, ketika Tuhan memberitahukan kepadanya hukuman yang akan diberikan kepada keluarga imam Eli. Samuel tidak mungkin menyembunyikan kabar dari Tuhan tersebut, karena imam Eli juga ingin tahu apa yang telah disampaikan oleh Tuhan melalui Samuel. Awalnya Samuel segan, tetapi akhirnya dia terpaksa memberitahukan apa yang dikatakan oleh Tuhan. Kabar ini pernah disampaikan oleh Tuhan secara langsung kepada imam Eli. Tetapi imam Eli tidak berubah dalam tindakannya. Anak-anak imam Eli telah menghujat Tuhan, tetapi imam Eli tidak memarahi mereka atau mendidik mereka dengan baik. Bahkan dosa imam Eli ini tidak mendapatkan pengampunan sama sekali. Dosa penghujatan itu tidak bisa dihapuskan dengan korban sembelihan atau korban sajian.

Jika kita berada di posisi seperti Samuel, maka kita harus mulai berpikir jernih. Kabar buruk yang harus kita sampaikan, seharusnya tidak menjadi beban berat. Kita harus menyadari, jika Tuhan mengizinkan kita untuk menyampaikan kabar buruk tersebut pada orang lain, maka kita sedang dipercaya oleh Tuhan untuk menyampaikan kabar itu. Di sisi lain, kita pun harus siap untuk memberi kekuatan dan penghiburan kepada orang-orang yang menerima kabar buruk tersebut. Dengan demikian, diharapkan tetap ada pengharapan yang muncul di tengah-tengah kabar buruk tersebut.

Views: 5

Jika saudara diberkati, silahkan bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top