Keteladanan Yusuf Sebagai Pembawa Damai

Kejadian 50:14-21

Hidup dibenci dan disakiti bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Beberapa di antara kita mungkin pernah diperlakukan secara tidak adil oleh sesamanya. Dan hal tersebut sangat menyakitkan. Merasa dikucilkan dan tidak dianggap sebagai bagian dalam komunitas atau keluarga, akan membawa orang tersebut mengalami kepahitan hidup. Dampaknya, hidup menjadi tidak damai, penuh kebencian, curiga dan susah untuk mengampuni.

Jika ada di antara kita pernah mengalami hal tersebut, atau bahkan mungkin sekarang sedang mengalaminya, sebenarnya kita tidak benar-benar sendirian. Yusuf pernah diperlakukan seperti itu, bahkan oleh saudara kandungnya sendiri. Yusuf dibenci saudara-saudaranya karena ia sangat dikasihi oleh ayahnya dan juga karena mimpi yang ia ceritakan kepada mereka (Kej 37:4,8). Saudara-saudaranya mencari cara untuk mencelakakan bahkan membunuh Yusuf (Kej 37:18-20). Yusuf mengalami kekerasan secara fisik, ia dibuang ke dalam sumur yang ada di padang gurun (Kej 37:22). Dan akhirnya Yusuf benar-benar diasingkan. Yusuf dijual kepada orang Ismael dengan harga dua puluh syikal perak (Kej 37:28) dan orang Ismael tersebut menjual Yusuf kepada Potifar, pegawai istana Firaun, kepala pengawal raja (Kej 39:1).

Bisa dipastikan, bahwa jika ada orang yang mengalami hal serupa seperti Yusuf, maka sebagian besar mereka akan menaruh dendam dan kebencian terhadap saudara-saudaranya tersebut. Tetapi Yusuf memberikan teladan yang berbeda. Yang dilakukan oleh Yusuf justru diluar kebiasaan umum.

Pertama, Yusuf memberi pengampunan, bukan membenci atau pendendam (ayat 15-17). Posisi Yusuf saat itu sangat berkuasa di Mesir. Dia bisa dengan mudah membalas semua kejahatan saudaranya, apalagi ayahnya sudah meninggal. Tidak ada lagi penghalang untuk membalaskan semua perbuatan jahat saudaranya. Yusuf punya kesempatan, kuasa dan otoritas untuk melakukan semua itu. Tetapi dia tidak melakukannya. Dengan kerendahan hati, justru Yusuf menjelaskan bahwa keberadaannya dipakai Tuhan untuk memelihara hidup sebuah bangsa yang besar, yaitu bangsa Israel. Sebelum Yesus mengajarkan tentang pengampunan, Yusuf sudah mempraktekkannya meskipun ia belum pernah mendengarkan pengajaran Yesus. Bagaimana dengan kita yang sudah mendapatkan pengajaran tentang pengampunan? Sudahkah kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita?

Kedua, memahami rencana besar Tuhan (ayat 18-20). Kita tidak pernah memahami rencana besar dari Tuhan terhadap hidup kita, kalau kita tidak pernah belajar sungguh-sungguh tentang kebenaran. Pada saat Yusuf hidup, belum ada banyak perintah dan larangan yang diberikan. Tetapi karena penyertaan Tuhan dan hati nurani Yusuf yang peka, dia tahu bagaimana menyenangkan hati Tuhan. Dia tahu kebenaran dan kebenaran tersebut menjadi bagian dalam hidupnya. Karena kebenaran, Yusuf menolak untuk berzinah dengan istri Potifar, padahal belum ada perintah “jangan berzinah.” Bagaimana dengan kita, siapkah kita hidup dalam kebenaran?

Ketiga, menentramkan batin, bukan menggelisahkan hati (ayat 21). Sikap hati seseorang akan mempengaruhi tingkah lakunya. Perkataan seseorang yang diucapkan setiap hari bisa dipakai untuk mengukur karakter seseorang. Di akhir kisah Yusuf, perkataan Yusuf menenangkan hati saudara-saudaranya. Demikian juga seharusnya kita sebagai orang percaya. Perkataan kita menenangkan bukan menakutkan, menginspirasi bukan membuat emosi, memotivasi bukan menjatuhkan, memberi sukacita bukan membuat duka. Bagaimana dengan perkataan kita saat ini, sudahkah mencerminkan karakter kita sebagai anak-anak Allah?

Tidak mudah untuk menjadi seperti Yusuf, tetapi kita bisa untuk belajar meneladaninya. Pengampunan tidak akan merugikan kita, justru akan membebaskan kita dari kepahitan hidup dan ikatan dendam serta kebencian.

Tuhan Yesus memberkati, Maranatha!

Views: 1079

Jika saudara diberkati, silahkan bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top