1 Samuel 3:10-19
Hidup dalam sebuah budaya, sebuah keluarga atau masyarakat akan mempengaruhi seseorang dalam bersikap dan bertindak. Terlebih jika kita hidup dalam komunitas gereja dengan jemaat dari berbagai macam suku dan budaya. Sementara itu, firman Tuhan mengajarkan dalam hidup bersama, bagaimana kita dapat saling mengingatkan dan diingatkan tanpa menimbulkan rasa sakit atau ketersinggungan yang bisa membuat orang lain menjadi marah. Inilah yang Tuhan hendak ajarkan kepada kita, di tengah-tengah kehidupan berkeluarga (keluarga kecil atau besar). Melalui ayat yang sudah kita baca, kita diajak untuk membangun keluarga yang berani saling memberi dan menerima teguran dengan memiliki 3 (tiga) hal:
Pertama, memiliki dasar firman Tuhan (ayat 10-15). Seringkali dalam hidup ini, rasa takut menjadi penghalang kita untuk menyatakan dan melakukan kebenaran yang kita ketahui, meski kita tahu itu akan mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Anehnya, orang memilih menghindar atau lari dari setiap permasalahan yang dihadapi, sehingga masalah tersebut tidak terselesaikan dengan baik, bahkan akan semakin memperbesar masalah dan kesulitan yang ada. Di ayat ini, Samuel juga mempunyai dilema yang sama dalam memperkatakan kebenaran. Samuel segan (takut) memberitahukan penglihatan itu kepada Eli. Firman yang Samuel dengar pertama kali bukanlah berita yang menyenangkan. Firman itu berisi malapetaka, hukuman Tuhan atas Israel, juga nubuat tentang kematian Eli dan kedua anaknya. Kalau Samuel menyampaikan firman itu kepada imam Eli, maka kemungkinan besar, yang menjadi ketakutan Samuel, hubungan yang terjalin baik akan menjadi rusak. Tidak mudah bahkan sangat sulit untuk menegur orang yang kita kasihi. Tidak mudah juga untuk melakukan apa yang tercatat dalam 2 Timotius 4:2, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.”
Kedua, memiliki hubungan yang baik (ayat 16). Imam Eli dan Samuel mempunyai hubungan yang sangat dekat, seperti bapa dengan anak. Memiliki hubungan yang akrab serta komunikasi yang baik (keterbukaan) ini yang membuat Samuel akhirnya berani menceritakan seluruh kebenaran yang Tuhan firmankan kepadanya. Ia akhirnya bisa mengalahkan rasa takut di dalam dirinya. Apa yang dirasakan dan didengar dapat dikomunikasikan. Apabila timbul kesalahpahaman, maka bisa saling meluruskan. Jika kebiasaan ini dikembangkan terus dalam hidup berkeluarga, akan bisa menolong untuk memperkecil permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hidup berkeluarga. Masalah yang besar bisa menjadi kecil. Masalah yang kecil bisa teratasi dengan baik.
Ketiga, memiliki sikap yang rendah hati (ayat 17-18). Meskipun yang mendapat firman Tuhan adalah Samuel, bukan imam Eli, tetapi imam Eli tidak menjadi kecewa kepada Tuhan atau marah (merasa tersaingi) kepada Samuel. Imam Eli justru memberi dorongan kepada Samuel yang masih muda itu untuk mengatakan semua firman yang ia terima dari Tuhan dengan penuh keberanian, tanpa rasa takut, dengan tidak menambahi atau mengurangi. Imam Eli bahkan menerima firman dan hukuman itu dengan rendah hati. Menerima teguran dengan rendah hati dapat membuat seseorang makin bijaksana. Sebaliknya, merasa diri paling benar dan tidak mau menerima nasihat, membuat seseorang semakin sombong.
Dalam hidup berkeluarga, kita dipanggil tidak hanya untuk menerima firman-Nya. Kita juga dipanggil untuk menyatakan kebenaran firman Tuhan, meskipun ada resiko yang harus ditanggung.
Tuhan Yesus memberkati, Maranatha!
Views: 136