Yunus 2:1-10
Setiap manusia bisa mengalami titik terendah dalam hidupnya. Dalam kondisi yang demikian, hidup terasa sangat berat, terasa hampir mati, otak tidak bisa berpikir dengan jernih, indera kita tidak mampu bekerja dengan baik. Kehidupan kita akan terasa hampa, tidak berdaya, tidak ada harapan dan kosong. Di titik seperti inilah, manusia tidak akan mampu merasakan apapun, selain penderitaan. Di titik ini, manusia tidak mampu mendengar apapun selain kehampaan. Manusia tidak mampu berpikir apapun selain kekosongan. Di saat seperti ini, manusia yang tidak kuat dan tidak berpengharapan, akan memilih untuk menyerah, kalah dan mati.
Kondisi itu terjadi pada Yunus, tetapi ia memiliki pilihan yang baik, meskipun ia juga mengalami kematian. Saat Yunus lari dari panggilan Tuhan, ia naik kapal ke Tarsis. Kapal itu dihantam angin ribut. Yunus merelakan diri untuk dicampakkan ke laut, dicampakkan menuju kematian. Dalam penyertaan Tuhan, datang seekor ikan besar menelan Yunus. Yunus berada di dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam. Yunus di bawa tenggelam ke dasar bumi, ke dunia orang mati. Tetapi Yunus mendapatkan kesempatan kedua. Yunus mendapat kesempatan untuk bisa berdoa kepada Tuhan. Karena seruan Yunus, maka Tuhan membawa ikan besar itu ke pantai dan memuntahkan Yunus, dalam keadaan hidup.
Jika Tuhan sudah berkehendak, maka tidak ada yang bisa menghentikannya. Kehendak dan kedaulatan Tuhan dinampakkan dalam kisah ini. Meskipun Yunus melarikan diri, tetapi dia tidak bisa ke mana-mana, karena memang Yunus yang dikehendaki oleh Tuhan untuk menyatakan firman-Nya kepada penduduk kota Niniwe. Kita pun tidak bisa menyembunyikan diri dari Tuhan. Ke mana pun kita pergi, mata Tuhan selalu tertuju kepada kita. Ketika kita melakukan kesalahan, Tuhan tahu. Ketika kita melakukan hal-hal yang baik, Tuhan pun tahu. Ia akan memperhitungkan segala sesuatu yang kita lakukan.
Meskipun Yunus sudah tidak taat dengan panggilan Tuhan, tetapi Tuhan tetap memberi kesempatan kepada Yunus. Yunus adalah orang yang diselamatkan, tetapi ia egois, tidak mau membagikan keselamatan itu kepada penduduk Niniwe. Yunus tetap selamat, tetapi ia tidak mau dipakai oleh Tuhan untuk menjadi saluran keselamatan bagi orang lain.
Kita tidak bisa membayangkan saat Yunus dicampakkan ke dalam laut, lalu ditelan oleh ikan besar. Kita juga tidak bisa membayangkan keadaan Yunus pada saat berada di dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam. Perut ikan itu digambarkan sebagai dunia orang mati atau liang kubur. Orang Israel kuna percaya bahwa dunia orang mati terletak di bawah laut besar, atau biasa disebut dengan syeol. Tempat itu sangat sunyi dan manusia yang ada di situ tidak bisa merasakan apa-apa. Pada saat seperti itu, manusia benar-benar terpisah dengan Tuhan.
Yunus berada di titik rendah dalam hidupnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, selain pasrah dan berserah. Tidak ada kekuatan apapun yang bisa menolongnya, selain kekuatan Tuhan. Tindakan melarikan diri dari Tuhan telah mengakibatkan penderitaan yang berat bagi Yunus. Anehnya, di saat seperti itu, doa Yunus terkesan seperti menyalahkan Tuhan. Ia menganggap bahwa Tuhan adalah penyebab dari malapetaka yang sedang ia alami. Tetapi setelah itu, tetap ada penyesalan di dalam diri Yunus.
Yunus melakukan itu semua karena Yunus tidak setuju dengan perintah Tuhan dan menyampaikan seruan pertobatan atas orang-orang Niniwe. Yunus memang menginginkan penduduk Niniwe dihukum oleh Tuhan atas kejahatan yang telah mereka lakukan. Yunus sangat mengenal Tuhan yang pengasih dan penyayang, serta panjang sabar. Benar saja, ketika Yunus menyerukan pertobatan dan penduduk Niniwe bertobat, ternyata hal itu membuat Yunus kesal dan marah. Adakah kita yang seperti itu? Egois dan tidak mau memberitakan keselamatan atau seruan pertobatan terhadap orang lain.
Kekesalan Yunus memang ada dasarnya. Israel pernah mengalami pembuangan di Babel. Di pembuangan itu, bangsa Israel terus menjaga jati diri sebagai bangsa pilihan Tuhan. Cara terbaik untuk mempertahankan diri menjadi bangsa pilihan adalah memisahkan diri dengan bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Asyur. Yunus tidak bersedia menyerukan pertobatan di kota Niniwe karena pada waktu itu Niniwe merupakan ibu kota bagi bangsa Asyur.
Dari kisah ini kita bisa belajar tentang karakter Tuhan yang penuh kasih dan panjang sabar. Tuhan sabar kepada kita dan juga kepada orang lain. Jika kita masih hidup sampai hari ini, maka ini adalah kesempatan kita untuk terus hidup di dalam Tuhan dan mengerjakan keselamatan kita dengan sungguh-sungguh.
Views: 4