Jelajah PB 252 (Lukas 15:11-24)

Perumpamaan pertama menceritakan tentang domba yang sesat, perumpamaan yang kedua tentang dirham yang hilang, dan sekarang perumpamaan yang ketiga, orang yang hilang. Kita bisa lihat nanti di dalam perumpamaan ini, pertama anak bungsu yang hilang, tetapi kemudian ganti anak sulung yang hilang.

Ada seorang bapak yang mempunyai dua anak laki-laki. Yang bungsu minta supaya bapaknya membagi harga warisan, padahal orangtuanya belum meninggal. Sepertinya bapak ini sangat mengasihi anaknya, sehingga ia pada akhirnya membagi harta tersebut. Lalu anak bungsu itu pergi untuk memboroskan semua harta yang sudah didapatkan dari ayahnya. Setelah berfoya-foya sekian lama di negeri orang, akhirnya habislah semua harta bendanya. Memang kita bisa melihat di dalam kehidupan ini, jika seseorang sedang memiliki banyak uang, biasanya akan mempunyai banyak teman. Jika uangnya sudah habis, maka habis juga temannya.

Kita bisa membandingkan dalam kehidupan kekristenan dan kita bisa belajar bahwa kesetiaan itu adalah sesuatu yang indah. Pada saat ini, kesetiaan itu makin hari makin langka. Karena tidak mempunyai harta benda, akhirnya anak bungsu ini mencari pekerjaan, yaitu sebagai penjaga babi. Menjaga babi adalah pekerjaan yang paling hina bagi orang Yahudi. Babi sendiri dianggap sebagai binatang yang sangat kotor dan najis. Karena keadaan sangat terpuruk, sampai dia ingin makan makanan babi.

Akhirnya dia terpikir kembali dan sadar bahwa di rumah ayahnya, pembantu-pembantunya makan makanan yang enak. Lalu anak itu berpikir untuk kembali ke rumah ayahnya, untuk menjadi pekerja bagi ayahnya dan tidak perlu menjadi anak ayahnya lagi. Lalu dia memutuskan untuk pulang ke rumah bapanya.

Sangat indah jika orang berdosa mempunyai pemikiran seperti anak bungsu ini. Bisa masuk sorga saja, sebenarnya kita sudah sangat bersyukur sekali. Bisa masuk sorga adalah anugerah yang sangat luar biasa. Itulah yang dipikirkan oleh anak bungsu ini, kembali ke rumah ayahnya, tidak perlu menjadi anak, hanya menjadi pembantu saja sudah lebih dari cukup. Hidup di rumah ayahnya penuh dengan kelimpahan dan kebahagiaan.

Di pihak lain, ternyata ayahnya sangat merindukan anak bungsu ini. Ketika anak bungsu ini pulang, dari jauh ayahnya sudah melihat dan mengenal anaknya. Meskipun mungkin anak bungsu itu penampilannya sudah sangat berbeda, tetapi ternyata ayahnya masih sangat kenal dengan anaknya. Ayahnya tahu, tergerak oleh belas kasihan dan akhirnya berlari untuk mendapatkan dia, merangkul serta menciumnya. Sedangkan anak tersebut tidak berani lagi untuk menyatakan diri sebagai anak. Meskipun anak itu tidak mau menyatakan diri menjadi anak, tetapi bapaknya tetap memperlakukannya sebagai anak. Bapa dan semua yang ada di rumah itu bersukacita.

Domba yang sesat perlu dicari. Dirham juga perlu dicari. Tetapi orang, ketika dia terhilang, dia masih mempunyai kesadaran. Karena itu anak bungsu ini kembali ke rumah karena kesadarannya sendiri. Tuhan sedang menyindir orang-orang Farisi dan ahli Taurat bahwa sikap mereka lebih seperti anak sulung. Anak sulung sendiri tidak mau mencari adik bungsunya yang terhilang. Orang Yahudi juga tidak peduli dengan bangsa-bangsa lain yang terhilang. Orang Yahudi tidak berusaha untuk menjadi terang bagi bangsa lain yang belum mengenal kebenaran. Bagaimana dengan kita yang sudah percaya kepada Tuhan, apakah kita juga seperti anak sulung yang tidak peduli dengan orang-orang yang belum mengenal dan percaya Tuhan?

Views: 11

Jika saudara diberkati, silahkan bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top