Perintah Untuk Mengasihi

1 Yohanes 3:16-18

Sebagai orang percaya, kita pasti tahu bahwa Tuhan Yesus memberi perintah kepada kita untuk saling mengasihi, satu dengan yang lain. Hal itu telah dijelaskan di ayat 11, “Sebab inilah berita yang telah kamu dengar dari mulanya, yaitu bahwa kita harus saling mengasihi.” Berita ini datang langsung dari Yesus Kristus, dikatakan pada saat perjamuan malam menjelang Ia disalibkan. Di dalam perjamuan terakhir itu (Yoh 13:34), Yesus berkata, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi.”

Jika ada perintah baru, berarti pernah ada perintah lama. Perintah yang lama ada di dalam Imamat 19:18, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Jika dibaca sekilas, perintah ini sepertinya sama. Topiknya sama, tetapi kita akan melihat perbedaannya. Di dalam perintah lama, jika kita ingin dikasihi oleh orang lain, maka kita harus mengasihi mereka terlebih dahulu. Dorongan utamanya adalah perasaan simpati atau empati kita kepada orang lain. Sekali-sekali diperlukan “tukar nasib” supaya kita tahu kesusahan dan penderitaan orang lain. Kasih kita kepada orang lain tidak akan bisa melampaui kasih kita kepada diri sendiri.

Di perintah baru, penekanan pada “saling mengasihi” dengan alasan bahwa Yesus telah mengasihi kita. Dorongannya beda, bukan karena mengasihi diri sendiri tetapi karena Tuhan Yesus telah mengasihi kita terlebih dahulu. Dalam hal ini, kita perlu mengerti tentang kasih Tuhan Yesus. Yesus telah mengasihi kita, melampaui Diri-Nya sendiri. Kasih seperti ini yang disebut dengan kasih agape, tidak ada bandingannya.

Di dalam Roma 5:8 dikatakan, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Tuhan Yesus mengasihi kita pada saat kondisi kita sedang sangat menjengkelkan, menjadi seteru atau lawan dari Tuhan. Kita memang dalam posisi pantas untuk dihukum mati. Di mata Tuhan, kita tidak ada baiknya, karena dosa. Di saat itulah Tuhan Yesus datang untuk menyelamatkan kita. Itulah kasih yang “tidak masuk akal.”

Untuk para pemberontak dan pembangkang, para pendosa, Yesus rela meninggalkan kemuliaan-Nya di Surga, hadir meskipun banyak juga yang akhirnya menolak-Nya. Di taman Getsemani, Yesus sepertinya sudah tidak kuat dengan keputusan-Nya itu, tetapi tetap saja Ia taat sampai mati di kayu salib. Dia melakukan semuanya itu, karena kasih-Nya yang besar kepada kita. Yesus diadili dengan pengadilan yang tidak adil, dituduh dengan tuduhan palsu dan saksi dusta, tetapi Ia tetap diam dan menjalani semuanya itu. Inilah bentuk kasih yang “tidak masuk akal.”

Manusia yang dikasihi-Nya, justru menyalibkan Dia, tetapi Ia masih bisa berkata, “Ampunilah mereka.” Kita harus bisa menyadari bahwa kasih Tuhan Yesus itu tanpa syarat. Tidak ada yang menarik pada manusia, tetapi Yesus tetap mengasihi. Banyak orang melakukan dosa dengan sengaja, seolah-olah Tuhan tidak melihat, tetapi Tuhan tetap mengasihi mereka. Jika kita masih hidup sampai saat ini, sebenarnya Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita.

Jika saat ini kita ingin mengasihi orang lain, dorongannya bukan karena kita telah mengasihi diri sendiri, tetapi karena Tuhan Yesus terlebih dulu telah mengasihi kita. Jika kita benar-benar ada di dalam Kristus, maka kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita (ayat 16b). Sepertinya ini berlebihan, karena tidak mungkin ada orang yang mau mati bagi orang lain. Bagi anak kita, hal ini mungkin saja terjadi. Tetapi bagi orang yang memusuhi kita atau menyakiti kita, sepertinya tidak mungkin. Hanya saja, peristiwa seperti itu pernah dilakukan oleh Yesus Kristus bagi kita. Inilah keutamaan dari kasih itu.

Kasih seperti itu sepertinya mustahil untuk dilakukan. Karena itu Yohanes di ayat 17 mencoba untuk menjabarkan atau menyederhanakan perintah kasih itu. Jika kita memiliki kelebihan dan melihat ada saudara yang kekurangan tetapi menutup pintu hati, maka kasih Tuhan tidak ada pada kita. Di dalam Alkitab, uang seringkali dijadikan ukuran. Sikap seseorang terhadap uang, akan berpengaruh pada hal dan sikap lain dalam hidupnya. Di ayat 18, Yohanes mengajak supaya kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. 

Views: 2

Jika saudara diberkati, silahkan bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top