Lukas 6:27-36
Bagi banyak orang, termasuk orang Kristen, pengampunan mungkin merupakan salah satu bagian Injil yang paling sulit untuk dilakukan. Konsep mengenai pengampunan biasanya sangat tidak realistis dan sangat sulit untuk dicapai. Apalagi pada saat ini, ketika hidup di dunia dipenuhi dengan kekerasan dan dendam, pengampunan semakin sulit untuk dilakukan. Kebencian dan kekerasan sering disebarkan kepada semua orang, sedangkan pengampunan sangat sedikit disampaikan kepada orang-orang secara umum. Pada akhirnya, konsep mengenai pengampunan dianggap sebagai hal yang kuno, hal yang tidak bisa dilakukan dengan mudah.
Di dalam Perjanjian Lama, kebencian terhadap pelaku kejahatan dianggap sebagai sikap yang wajar untuk dimiliki. Ketika masuk dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus justru mengajarkan dan melakukan yang sebaliknya. Ia mengajarkan kepada kita untuk mengasihi musuh atau orang-orang yang menganiaya kita. Itu juga yang dilakukan oleh Yesus Kristus selama hidup dan pelayanan-Nya di dunia. Ini sebenarnya menjadi inti dari pengajaran Yesus Kristus, yang telah diajarkan dan dipraktikkan-Nya sendiri. Di dunia ini ada yang pernah mengajarkan dengan ajaran yang hampir sama, tetapi dalam bentuk kalimat negatif, “Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kamu tidak ingin mereka lakukan kepadamu.” Tetapi jauh sebelumnya, Tuhan Yesus sudah memberikan perintah dalam kalimat positif, yaitu “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu…” (ayat 27).
Kata “kasihilah” yang digunakan dalam kalimat itu adalah “agapate”, yaitu jenis kasih agape, kasih yang sangat istimewa. Ini bukan cinta atau kasih kepada saudara kandung, atau kasih kepada orang-orang lain secara fisik atau persahabatan. Ini adalah cinta kasih yang lebih merupakan sikap penghargaan positif terhadap orang lain. Ini juga kasih yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia di dunia ini. Kasih agape adalah kasih sepihak yang tidak pernah mengharapkan pengembalian. Tuhan telah menjangkau manusia dengan kasih agape yang tidak terbatas ini. Dia ingin setiap manusia yang telah mendapatkan kasih itu, bisa membagikan kasih yang didapatnya itu kepada orang lain.
Masalah yang sering terjadi dalam kehidupan manusia di dunia ini, manusia cenderung terlalu fokus pada diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Selama bertahun-tahun telah terjadi proses kebencian dan pembalasan dendam. Tetapi kasih yang sejati seringkali sangat menyakitkan. Kita belajar untuk rela memberikan apapun untuk tidak menyakiti orang lain dan berbuat baik kepada mereka. Hal itu seringkali menuntut kita untuk rela memberi sampai sakit. Jika tidak, maka sebenarnya tidak ada cinta kasih di dalam diri kita. Itu juga yang dilakukan oleh Yesus Kristus, taat sampai mati di atas kayu salib karena bentuk dari cinta kasih-Nya kepada kita yang tidak menuntut balas sama sekali.
Ada pepatah yang mengatakan, “matahari bisa melelehkan lilin sekaligus mengeraskan tanah liat, di saat yang sama.” Keadaan yang sama bisa menyebabkan respons atau tanggapan yang berbeda. Di kondisi yang sama, ada keadaan yang membuat orang menjadi kepahitan tetapi ada juga yang membuat orang menjadi lebih baik. Ada yang terluka, tetapi ada juga yang semakin kuat. Kita juga bisa belajar dari Yusuf. Dia mengalami semua kepahitan, ketika dia dijual oleh saudara-saudaranya dan hidup dalam ketidakpastian. Dia bisa saja memilih untuk putus asa, tetapi yang dilakukan justru sebaliknya. Melalui setiap proses kehidupannya, ia telah dikuatkan dan dipersiapkan untuk memenuhi tujuan Tuhan bagi dia di Mesir (Kejadian 45).
Jika kita melihat dari sudut pandang Yesus, keputusan untuk mengampuni bukanlah tindakan yang menunjukkan kelemahan. Diperlukan keberanian yang besar, kekuatan batin yang baik dan kesadaran bahwa dengan mengampuni, kita menunjukkan bahwa hidup kita dipenuhi dengan hikmat Tuhan. Dengan mengampuni, kita tidak sedang dirugikan dan dipermalukan. Hidup ini berbicara mengenai apa yang kita berikan, bukan apa yang kita dapatkan. Pengampunan yang kita berikan tidak hanya membebaskan mereka yang terampuni, tetapi juga membebaskan kita dari kehidupan yang penuh dengan kepahitan atau duka karena disakiti. Kesetiaan kita dalam mengerjakan panggilan sebagai pembawa damai, kiranya menjadi jalan bagi banyak orang untuk merasakan kasih Tuhan yang luar biasa tinggi dan lebar dan dalamnya itu.
Views: 12