Jelajah PB 130 (Markus 10:1-9)

Orang-orang Farisi, orang Saduki dan ahli Taurat silih berganti menguji Yesus. Kali ini orang-orang Farisi yang datang untuk mencobai Yesus. Mereka bertanya, apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya? Di dalam adat istiadat orang Yahudi, pada saat itu cukup mudah untuk menceraikan isterinya, karena ketidaksetiaan kepada pasangannya. Terutama, paling banyak adalah sang suami, begitu mudahnya untuk menceraikan isterinya, terkadang hanya karena masalah yang sepele. Jika sudah demikian, maka status dari sang isteri menjadi tidak jelas. Status mereka seperti digantung, tidak mempunyai hak untuk menikah dengan orang lain.

Karena itulah, Musa memberikan izin kepada mereka untuk bercerai, tetapi dengan syarat, yaitu dengan membuat surat cerai. Hal ini dilakukan supaya status perempuan yang diceraikan, tidak terkatung-katung. Sebenarnya, Musa sama sekali tidak mengizinkan perceraian. Tetapi karena fenomena perceraian sudah terjadi di kalangan orang Yahudi pada saat itu, mengakibatkan status perempuan menjadi tidak jelas, maka harus ada surat cerai. Surat cerai ini bertujuan untuk memperjelas status dari perempuan, supaya tidak dipermainkan oleh kaum laki-laki. Jika perempuan tersebut sudah diceraikan dan mendapatkan surat cerai, maka ada kekuatan hukum bagi dia jika perempuan itu ingin menikah dengan laki-laki lain. Terpaksa Musa menggunakan hal itu dan mengizinkan perceraian karena ketegaran dan kedegilan orang-orang Yahudi. Hal tersebut dijelaskan oleh Musa di dalam Ulangan 24.

Ketika orang Farisi mempertanyakan hal itu kembali kepada Tuhan Yesus, dengan jelas sebenarnya Yesus mengatakan tidak boleh. Tidak diperbolehkan untuk bercerai. Tuhan Yesus memberikan alasan, sebab pada awal dunia, Tuhan menjadikan laki-laki dan perempuan. Tuhan menciptakan satu pasang dan hanya maut yang bisa memisahkan mereka.

Apa yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Kita pasti sering mendengar kalimat ini, terutama pada saat terjadi pernikahan Kristen. Tetapi meskipun demikian, ternyata masih banyak juga orang yang mengatakan dirinya Kristen, tetapi tega untuk bercerai. Mereka dengan sengaja melanggar perintah Tuhan ini. Yang paling kasihan dan menderita adalah mereka yang menjadi korban perceraian. Baik di masa lampau maupun masa sekarang, kebanyakan yang menjadi korban perceraian adalah perempuan dan anak-anak.

Kita harus ingat, prinsip dasar dalam pernikahan Kristen adalah tidak boleh bercerai, kecuali maut yang memisahkan. Sekali menikah, harus sampai akhir hayat. Seorang laki-laki hanya boleh mempunyai satu istri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu suami.

Hati-hati dengan aliran-aliran lain yang mengajarkan tentang sesuatu yang tidak sesuai dengan firman Tuhan ini. Terkadang mereka mengaku Kristen, tetapi mengajarkan bisa mempunyai istri sebanyak-banyaknya. Yang bersalah adalah yang menceraikan, bukan yang diceraikan. Kita tahu ada banyak orang Kristen yang bercerai juga, dengan berbagai alasan. Tetapi perceraian bukanlah solusi yang baik dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga. Tetapi, jika perceraian akhirnya terjadi, sebaiknya bukan dari pihak orang percaya yang menceraikan. Bisa jadi orang yang percaya adalah korban dari perceraian tersebut.

Views: 68

Jika saudara diberkati, silahkan bagikan:

2 thoughts on “Jelajah PB 130 (Markus 10:1-9)”

  1. Syalom pak E, izin bertanya. Di ayat lain pernah baca bahwa perceraian boleh terjadi kecuali karena berzina. Mohon pencerahannya pak E

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top