Matius 18:15-20
Enggan atau sungkan (dalam bahasa Jawa: pakewuh) tampaknya menjadi tradisi orang-orang timur yang susah sekali untuk dihilangkan. Tradisi ini sangat mempengaruhi kita ketika kita ingin menegur kesalahan orang. Teguran seringkali juga disalahartikan sebagai penghakiman. Menegur atau menasihati sesame bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan, karena ada rasa sungkan untuk melakukannya.
Demikian halnya dengan yang ditegur atau dinasihati, tidak mudah seseorang menerima teguran atau nasihat, apalagi jika dia telah melakukan kesalahan. Jika tidak terima, orang yang ditegur bisa sakit hati. Mereka bisa membenci yang menegur. Jika hal tersebut terjadi, maka hubungan antar sesama menjadi kacau.
Memang kita tahu bahwa ada juga teguran yang disampaikan dengan kurang bijaksana. Contoh: menegur kesalahan orang di depan umum, atau menyampaikan teguran dengan emosi serta kemarahan, atau teguran yang sengaja dilakukan untuk mempermalukan orang. Sebenarnya, niat orang percaya untuk menegur kesalahan sesamanya adalah untuk membawa mereka bisa menyadari dan keluar dari kesalahan. Menegur seharusnya dilakukan dengan tujuan yang baik dan tulus, yaitu untuk menolong orang yang melakukan kesalahan, bukan untuk mematahkan semangatnya.
Sejak Perjanjian Lama, hal ini sudah diajarkan. Di dalam Imamat 19:17 dikatakan, “Janganlah membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegur orang sesamamu.” Demikian juga di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus secara khusus juga mengajarkan tahapan untuk menegur orang yang bersalah.
Tahap pertama, teguran disampaikan secara pribadi, tanpa perantara. Istilah yang sering dipakai adalah “empat mata”. Seharusnya dalam hal ini tidak ada yang dipermalukan, karena sifatnya pribadi. Tentu kita harus belajar untuk menegur dengan baik dan kasih, agar orang yang kita tegur menyadari kesalahannya dan mau memperbaikinya. Jika orang tersebut menyadari dan mau memperbaiki, maka selesailah persoalan tersebut. Tidak perlu diberitahukan ke banyak orang.
Tahap kedua, ketika teguran pertama tidak membuahkan hasil, maka teguran itu disampaikan di hadapan para saksi. Teguran ini disampaikan bersama sahabat atau teman lain, secara tertutup meskipun melibatkan lebih banyak orang. Teguran yang disampaikan oleh dua atau tiga orang seharusnya lebih kuat dan bisa saling melengkapi. Sekali lagi tujuannya bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk membawa saudara kita yang bersalah kembali ke jalan yang benar. Jika teguran berhasil, maka kita telah mendapatkan saudara kita kembali dan ada pemulihan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
Tahap ketiga, dilakukan jika tahap kedua tidak berhasil. Yang kita lakukan adalah membawa pembicaraan atau teguran tersebut di hadapan jemaat. Jemaat adalah keluarga Allah, satu tubuh. Jemaat adalah tubuh Tuhan Yesus Kristus. Apalagi jika kesalahan yang dilakukan bisa berpengaruh negatif pada kehidupan jemaat secara umum, maka teguran itu perlu disampaikan di hadapan anggota jemaat. Jika sampai tahap ini saudara kita yang bersalah tetap tidak mau mengakui kesalahannya, padahal sudah banyak bukti dan saksi, maka gereja (terutama gereja Mennonite) melakukan “disiplin gereja”.
Orang yang bersalah dan mengakui kesalahannya, maka kita sebagai orang percaya harus mengampuninya. Jika mereka tetap melakukan kesalahan, kita memberikan disiplin gereja (penggembalaan), tetapi tidak membenci. Yang harus kita lakukan adalah berdoa untuk dia dan tetap mengasihi dia.
Menegur adalah panggilan kita sebagai orang percaya dan gereja. Kita sebagai orang beriman tidak boleh membiarkan dan mendiamkan orang yang melakukan kesalahan atau dosa. Kita harus belajar untuk menegurnya, dengan Langkah-langkah yang sudah diajarkan oleh Tuhan Yesus. Jika teguran kita tidak diterima, maka yang kita lakukan adalah mendoakannya, tetapi mengasihinya, bukan membenci atau menjauhinya.
Views: 100