Membangun Rumah di Atas Batu

Matius 7:24-27

TB2:
(24) Jadi, setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia bagaikan orang bijaksana, yang mendirikan rumah di atas batu. (25) Lalu turunlah hujan dan datanglah banjir, dan angin bertiup melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak roboh sebab didirikan di atas batu. (26) Namun, setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia bagaikan orang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. (27) Lalu turunlah hujan dan datanglah banjir, dan angin bertiup melanda rumah itu, sehingga robohlah rumah itu dan besarlah kerusakannya.

Pernikahan bukan sekedar upacara atau ritual. Pernikahan merupakan permulaan sebuah rumah yang baru. Rumah ini bukan hanya rumah dalam bentuk bangunan, tetapi rumah dalam arti hidup bersama: tempat untuk saling mengasihi, saling berkorban, saling mengampuni dan saling memberi harap. Semuanya itu terbentuk sedemikian rupa, dari waktu ke waktu, hari ke hari. Rumah yang disampaikan oleh Tuhan Yesus bukan kemegahannya, tetapi dasarnya.

Ada dua rumah yang dibangun dengan dasar yang berbeda. Satu rumah dibangun di atas batu dan satu lagi dibangun di atas pasir. Dari luar, kemungkinan kedua rumah ini akan nampak sama indahnya: dicat rapi, dihias dengan baik dan nampak asri. Tetapi, perbedaan terbesar bukan di luar, tetapi di dasarnya.

Tuhan Yesus menginginkan bahwa rumah (tangga) itu dibangun atas dasar firman dan kehendak Tuhan, bukan atas dasar perasaan atau keinginan pribadi. Pasir menjadi gambaran dari emosi atau perasaan yang bisa saja tidak stabil. Pasir juga menggambarkan ekspektasi yang tidak realistis atau mengikuti kebiasaan tanpa nilai rohani.  Sedangkan batu menggambarkan dasar yang kokoh, yaitu firman Tuhan. Batu itu juga menggambarkan komitmet yang didasari kasih Tuhan dan hidup saling melayani, bukan saling menuntut.

Di dalam hidup kita, termasuk hidup berumah tangga, badai akan selalu datang. Tidak peduli sekuat apa kita, tetapi badai itu akan tetap menerjang kita: masalah keuangan, perbedaan pendapat, kesalahpahaman, penyakit, kesendirian, tantangan mendidik anak, atau konflik dalam keluarga besar. Apapun bisa terjadi, bahkan hal-hal yang tidak pernah kita persiapkan atau tidak pernah kita bayangkan. Seperti itulah kerumitan kehidupan orang dewasa.

Karena itu, mari kita fokus pada membangun rumah (tangga) di atas batu, bukan pasir. Ayat 24 dikatakan, “Jadi, setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia bagaikan orang bijaksana, yang mendirikan rumah di atas batu.” Supaya kuat, bukan hanya mendengar firman, tetapi juga melakukan.

Beberapa hal yang bisa dilakukan: (1) Membangun kasih, bukan sekadar perasaan, tetapi keputusan untuk tetap berkomitmen, meskipun dalam kondisi lelah, marah atau kecewa; (2) Belajar untuk tetap mengampuni karena sejatinya tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Saling mengampuni akan membuat luka menjadi kekuatan; (3) Doa dan firman bersama, membuat pasangan akan tetap menyatukan hati, melembutkan sikap dan menghadirkan Tuhan Yesus dalam keluarga. Dengan cara ini, berarti sedang menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan rumah tangga; (4) Memupuk kesetiaan dengan cara hadir, peduli, mendengar dan memprioritaskan satu dengan yang lain.

Pernikahan adalah sebuah perjalanan. Perjalanan ini akan cukup panjang, karena itu harus dijalani dengan penuh kesabaran. Terkadang ada tawa, tetapi juga air mata. Terkadang muncul badai, tetapi muncul juga pelangi. Karena itu, libatkan Tuhan dalam setiap langkah dan perjalanan ini.

Views: 3

Jika saudara diberkati, silahkan bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top