Pengkhotbah 2:1-23
TB2 LAI
Hikmat dan kebodohan sia-sia belaka. (1) Aku berkata dalam bati, “Baiklah, aku hendak mencoba kegirangan. Nikmati kesenangan!” Tetapi, lihat, itu pun sia-sia. (2) Tentang tawa ria aku berkata, “Itu bodoh!” dan mengenai kegirangan, “Apa gunanya?” (3) Aku menyelidiki diriku dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur, – sedang akal budiku tetap memimpin dengan hikmat – dan dengan merengkuh kebebalan, sampai aku mengetahui apa yang baik bagi anak-anak manusia untuk dilakukan di bawah langit selama hidup mereka yang pendek.
(4) Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, mendirikan bagiku rumah-rumah, menanami bagiku kebun-kebun anggur; (5) aku membuat bagiku kebun-kebun dan taman-taman, serta menanaminya dengan berbagai pohon buah-buahan; (6) aku membuat bagiku kolam-kolam air untuk mengairi hutan pohon-pohon muda dari sana. (7) Aku membeli budak-budak laki-laki dan perempuan, dan ada budak-budak yang lahir di rumahku. Aku juga mempunyai banyak sapi dan kambing domba melebihi siapa pun yang hidup di Yerusalem sebelum aku. (8) Aku juga megumpulkan bagiku perak dan emas, harta benda raja-raja dan daerah-daerah. Aku mengambil bagiku para penyanyi pria dan wanita, dan banyak selir, kenikmatan anak-anak manusia. (9) Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan lebih besar daripada siapa pun yang hidup di Yerusalem sebelum aku. Dalam semua itu hikmatku tetap tinggal pada ku. (10) Aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apa pun, sebab hatiku bersukacita atas segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku. (11) Ketika aku meninjau segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala jerih payah yang telah kulakukan untuk itu, lihatlah, semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin; tidak ada yang bermakna di bawah matahari.
(12) Lalu aku berpaling untuk meninjau hikmat, juga kekonyolan dan kebodohan. Sesungguhnya, apa yang dapat dilakukan orang yang menggantikan raja selain yang telah dilakukan? (13) Aku melihat bahwa hikmat lebih bermakna daripada kebodohan, seperti terang lebih berguna daripada kegelapan. (14) Mata orang berhikmat ada di kepalanya, sedangkan orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan, tetapi aku juga tahu bahwa nasib yang sama menimpa mereka semua. (15) Aku pun berkata dalam hati, “Nasib yang menimpa orang bodoh juga akan menimpa aku. Apa gunanya aku dulu begitu berhikmat?” lalu aku berkata dalam hati bahwa ini pun sia-sia. (16) Sebab, tidak ada kenangan yang kekal baik bagi orang berhikmat maupun orang bodoh. Pada hari-hari yang akan datang semuanya sudah lama dilupakan. Orang berhikmat mati juga seperti orang bodoh! (17) Sebab itu, aku membenci hidup, karena bagiku apa yang dilakukan di bawah matahari itu menyusahkan. Sesungguhnya, semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin. (18) Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya ekpada orang yang datang sesudah aku. (19) Lalu siapa yang mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh? Meskipun demikian ia akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan di bawah matahari dengan jerih payah dan dengan mempergunakan hikmat. Itu pun sia-sia.
(20) Aku pun mulai putus asa terhadap segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari. (21) Sebab, kalau ada orang berjerih payah dengan hikmat, pengetahuan, dan keterampilan, ia harus meninggalkan bagiannya kepada orang yang tidak berjerih payah untuk itu. Ini pun kesia-siaan dan kemalangan yang besar. (22) Apakah faedah yang diperoleh manusia dari segala jerih payah dan keinginan hatinya yang dilakukan di bawah matahari? (23) Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan apa yang dikerjakannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Ini pun sia-sia.
Siapa di antara kita yang pernah merasa lelah setelah mengejar sesuatu, tetapi setelah mendapatkannya, beberapa waktu kemudian kita berkata, “Eh, hanya begitu saja?”
Yang seperti itu memang biasa dan manusiawi. Ada momen ketika kita bekerja keras, berusaha, menabung, bekerja keras, mengejar karier atau mengejar pujian orang lain. Tetapi setelah mendapatkan semua itu, rasanya hampa. Yang paling sederhana, pengalaman belanja, yang paling menguras waktu dan perhatian adalah pada saat mencari dan memilih. Setelah mendapatkan, beberapa waktu kemudian, jadi biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
Rasa biasa atau rasa hampa itu bukan karena hidup kita jelek atau gagal. Justru sebaliknya. Pada momen itu, kita sedang menyentuh realitas yang lebih dalam tentang arti atau makna hidup. Melalui renungan hari ini, kita akan membahas dan mendalami tentang manusia (atau kita) yang sering mencari makna hidup di tempat yang salah. Setelah itu kita bandingkan dengan pengajaran Yesus untuk menemukan makna hidup yang sejati di tengah kefanaan dunia ini.
Ayat 1-11 menjelaskan mengenai pengalaman Salomo dalam pencarian makna hidup. Beberapa hal yang dikejar oleh Salomo: membangun rumah yang besar, memiliki taman yang indah, membeli segala jenis harta; mencoba kesenangan dengan musik, makanan, pesta dan hiburan; bahkan menimbang hikmat dan ilmu. Tetapi hasilnya? Hampa dan kosong. Salomo menyadari: keinginan manusia, kekayaan, pekerjaan dan bahkan hikmat, jika dijadikan sebagai tujuan akhir, tidak akan mampu memberi makna hidup yang sejati.
Coba kita melakukan refleksi sebentar. Ambil HP dan buka note atau tulis di kertas: “Apa yang selama ini kita kejar mati-matian, tetapi setelah mendapatkannya, merasa hampa?”
IPK tinggi, pekerjaan impian, status sosial, hubungan yang dianggap “sempurna”. Semua itu bisa memberi kepuasan sesaat, tetapi setelah itu, biasa saja.
Ayat 12-17, Salomo sadar bahwa hikmat yang dimilikinya, ketika dibandingkan dengan kefanaan hidup, ternyata juga tidak bisa memberikan kebahagiaan yang bertahan lama. Dalam kenyataan yang kita lalui: memiliki gelar akademik, uang, koneksi, tetapi kita tetap terbatas oleh waktu, kesehatan, dan akhirnya kita menemui kematian. Seandainya, kita punya semua itu, tetapi jatah hidup kita tinggal satu bulan? Tuliskan di note: Apa yang menurut rekan-rekan akan dilakukan selama satu bulan itu, yang paling penting dan bermakna?
Saya yakin jawabannya bukan soal kendaraan, rumah atau status. Bisa jadi, di antara kita akan banyak yang memilih untuk menjalin relasi yang berdampak positif, memilih melayani Tuhan dengan sisa kekuatan atau hidup mendekat dengan Tuhan.
Di tengah dunia yang penuh kefanaan dan ketiadaan makna, Yesus datang memberi arah yang jelas, melalui Matius 6:33, “Tetapi, carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, dan semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Semua itu berbicara tentang makan, minum dan pakaian.
Mencari Kerajaan Allah bukan sekadar rajin ke gereja atau persekutuan, bukan sekadar membaca Alkitab, tetapi lebih pada esensi: hidup dengan menempatkan Tuhan sebagai pusat dari setiap kehidupan kita: pusat setiap keputusan, pekerjaan dan relasi kita. Mencari kebenaran Tuhan artinya meneladani Yesus, mengasihi sesama, berintegritas. Yesus tidak menolak pekerjaan, karena memang sejatinya orang percaya harus bekerja lebih keras dan cerdas dibandingkan orang lain. Orang Kristen memiliki dua tanggungjawab besar: memenuhi kebutuhan keluarga dan memenuhi kebutuhan pelayanan serta penginjilan di gereja.
Jadi, semua yang dikejar secara duniawi, akan berakhir pada kesia-siaan. Menjadi orang yang bermakna di tengah-tengah ketiadaan makna di dunia ini tidak ditentukan oleh jumlah uang, gelar dan status. Makna sejati ditemukan ketika kita menempatkan Tuhan sebagai pusat kehidupan. Salomo menyimpulkan: bahkan kesenangan yang diperoleh dengan kerja keras akan terasa kosong jika tidak ada tujuan kekal. Yesus menekankan bahwa ketika kita mengejar Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka segala sesuatu yang kita lakukan akan diberkati dengan tujuan dan makna yang lebih tahan lama, bahkan kekal.
Bekerja keras itu penting, mengejar segala hal yang kita impikan juga penting. Kita bisa memaknai semuanya itu, jika yang kita kejar menjadi saluran berkat, bukan sekadar digunakan untuk kepuasan diri sendiri. Komunitas seperti gereja atau persekutuan alumni ini penting, sebagai wadah bagi kita untuk mengingat bahwa segala sesuatu yang kita lakukan adalah bagi Tuhan. Roma 11:36 berkata, “Sebab, segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”
Tulis kembali di note: Sebutkan satu tindakan kecil yang bisa kita lakukan di minggu depan, untuk menempatkan Tuhan sebagai prioritas.
Pesan untuk kita semua: Jangan takut melepaskan hal-hal yang sementara untuk mengejar yang kekal; jadilah generasi yang hidup dengan tujuan kekal, bukan sekadar sibuk; kerjakan pekerjaanmu dengan sepenuh hati, melayani sesama dan menempatkan Tuhan sebagai prioritas, maka hidup kita akan menemukan makna sejati yang tidak tergoyahkan oleh kefanaan dan ketiadaan makna dunia ini.
Views: 1