1 Korintus 2:1-5
Dalam satu jemaat lokal, tidak boleh ada perbedaan pandangan, terutama mengenai pengajaran yang berkaitan tentang firman Tuhan. Karena jika ada perbedaan, maka tidak akan bisa sehati sepikir lagi. Tetapi jika beda jemaat lokal, akan ada kemungkinan besar bisa berbeda pandangan. Dengan perbedaan pandangan itu, setiap jemaat bisa saling bersaksi, supaya bisa mengetahui pengajaran mana yang lebih mendekati kebenaran. Tentu bukan dengan perdebatan, tetapi dengan argumentasi yang masuk akal serta membuahkan sesuatu yang baik dan berkenan kepada Tuhan. Jemaat lokal diibaratkan sebagai satu tubuh. Tidak mungkin ada dua otak dalam satu tubuh, karena akan kacau.
Pada saat Paulus dulu berada di Korintus, Paulus tidak mau menggunakan filsafat dalam pengajarannya. Ia mengajarkan apa adanya sesuai dengan Injil Yesus Kristus, yaitu berita salib yang dianggap sebagai kebodohan bagi orang-orang yang mengagumi filsafat Yunani. Paulus memberitakan Injil di Korintus, ia tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat duniawi ketika menyampaikan kesaksian Tuhan kepada mereka. Ia memberitakan Injil yang sederhana, yang apa adanya, tanpa ditambahi dengan kata-kata indah. Paulus mengingat dalam suratnya, bagaimana dulu ia tiba di Korintus dan memberitakan Injil kepada orang-orang yang ada di sana. Waktu itu, sebelum tiba di Korintus, Paulus harus melewati Atena, kota yang penuh dengan berhala dan berbagai macam filsafat duniawi.
Paulus memutuskan bahwa dia hanya memberitakan Yesus yang tersalib, bukan memberitakan hal-hal lain. Mungkin ada yang mengejek, tetapi Paulus tetap pada pendiriannya, yaitu memberitakan Injil apa adanya. Barangsiapa mau dosanya diselesaikan, maka dia harus bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus yang telah disalibkan itu. Paulus mengakui bahwa dirinya datang ke Korintus dalam kelemahan, ketakutan dan gentar. Menurut beberapa penafsir, luka-luka yang diderita oleh Paulus belum sembuh. Paulus pernah dianiaya sebelumnya, di Tesalonika. Di dalam kekurangan dan kelemahan kitalah, kekuatan dan kemuliaan Tuhan dinyatakan. Janganlah kita menyombongkan diri, karena itu bisa berakibat kemuliaan Tuhan tidak bisa terpancar melalui kita.
Paulus mengingat bahwa firman dan berita Injil yang disampaikan pada waktu itu tidak dikemas dengan filsafat yang menyenangkan orang. Memang Paulus pernah menyampaikan firman dengan kemasan filsafat di beberapa tempat lain. Tetapi ketika di Korintus, Paulus memutuskan untuk hanya menyampaikan berita Injil saja, tanpa mengemasnya dengan filsafat duniawi. Memang ada saatnya kita bisa menyampaikan Injil secara kontekstual, sehingga bisa mudah diterima oleh orang-orang yang mendengarnya. Tetapi ternyata tidak harus selalu demikian. Perlu ada saat-saat kita memberitakan Injil apa adanya, sehingga Injil itu diberitakan dengan murni. Tidak semua orang bisa siap untuk mendengarkan Injil yang tidak dikemas secara kontekstual. Itu juga yang pernah dilakukan oleh Paulus di Korintus.
Paulus melakukan hal itu di Korintus dengan tujuan supaya orang-orang di Korintus mendengar dengan keyakinan akan kekuatan Roh dan supaya iman mereka tidak bergantung pada hikmat manusia, tetapi kepada kekuatan Tuhan. Jika memang kita memberitakan Injil dengan menggunakan konteks-konteks tertentu, kita harus berhati-hati supaya Injil yang kita beritakan tidak keluar dari Alkitab. Musa mengetahui hikmat orang Mesir, tetapi dia tidak menggunakan hikmat itu untuk mengajar pada orang-orang Israel.
Views: 2